Kamis, 30 April 2009

Memupuk Jiwa Keteladanan

Sumber: Jurnal MQ - Edisi April 2002
Oleh Ahmad Zairofi

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21)

Tak seorang pun lahir ke dunia ini yang langsung pintar. Semua makhluk hidup, lahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya, dan tidak mengerti apa-apa. Tentu dengan mengecualikan Nabi Isa yang salah satu mu’jizatnya adalah bisa berbicara meski ia masih di buaian ibunya. Siapapun, tidak lahir sebagai ilmuwan, kiai, tokoh, cendekiawan, politikus, atau orang-orang besar lainnya. Semua berangkat dari ketidaktahuan. Semua berawal dari tidak mengerti apa-apa. Allah Swt menegaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl: 78).
Dengan pendengaran, penglihatan dan hati itulah, kemudian manusia belajar menjadi bisa. Dari waktu ke waktu, setiap anak yang baru lahir menabung untuk kantong pengetahuannya tentang segala macam hal. Ia belajar mengingat apa-apa yang ia dengar dengan pendengarannya. Ia belajar mengenali apa-apa yang ia lihat dengan penglihatannya. Dan ia berusaha menghayati apa yang ia rasakan dengan hatinya.
Dari sana, lantas sebuah proses meniru dan mengikuti selalu terjadi pada diri anak-anak manusia. Binatang pun belajar dari induk mereka dengan cara melihat, lantas menirukan. Pendek kata, seluruh makhluk hidup di dunia selalu belajar dengan cara meniru, selain melalui inisiatif yang diilhamkan Allah pada diri mereka masing-masing. Karenanya, dalam hal berbahasa misalnya, anak-anak yang lahir secara normal, tidak pernah memerlukan kursus khusus untuk memahami bahasa ibu kandungnya. Ia cukup mendengar dan menirukannya.
Kenyataan-kenyataan di atas, menjelaskan dengan sangat tegas akan pentingnya keteladanan dalam hidup. Ya, karena setiap orang punya tabiat meniru. Maka pihak-pihak yang dimungkinkan akan ditiru semestinya selalu tampil sebagai teladan yang baik. Agar, mereka yang meniru, mendapatkan contoh yang baik untuk ditiru. Tabiat meniru ini, bahkan akan memberi kontribusi yang besar bagi hampir seluruh kepribadian seseorang. Tak heran bila Rasulullah mengatakan, "Seseorang itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Teman yang baik, menurut Rasulullah seperti penjual minyak wangi. Kita bisa membeli minyak wangi itu, atau ia memberi kita secara cuma-cuma, atau setidaknya kita bisa mencium bau wanginya. Namun, ketika Rasulullah menganjurkan seorang muslim memilih teman yang baik, tentu itu juga harus difahami sebagai perintah agar orang muslim juga menjadi teman yang baik. Bila tidak, kemana orang-orang muslim akan mencari teman yang baik? Kemana mencari para ‘penjual minyak wangi’?
Bahkan keteladanan, adalah juga tanggung jawab bagi kesinambungan generasi demi generasi. Itulah yang kita maknai dari penjelasan Rasulullah, mengapa setiap bayi tergantung orang tuanya. Orang tuanya yang menjadikan bayi itu yahudi, atau nasrani, atau majusi. Karena bayi itu lahir dalam keadaan fitrah. Ia akan meniru dan belajar apa yang ditanamkan kedua orang tuanya.
Tetapi keteladanan tidak berhenti pada radius tanggung jawab orang tua kepada anak. Dalam hubungan atas-bawah, apapun bentuknya, keteladanan adalah harus. Maka seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi rakyatnya. Seorang penguasa harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Seorang atasan harus menjadi teladan bagi seluruh bawahannya. Seorang ulama harus menjadi teladan bagi umatnya. Seorang tokoh partai harus menjadi teladan bagi konstituennya. Demikian seterusnya.
Keteladanan adalah guru yang mengajarkan banyak hal tanpa banyak bicara. Itu jauh lebih memberi arti dan pengaruh ketimbang berjuta kata-kata. Karena bahasa perilaku lebih tajam daripada bahasa lisan. Segalanya lebih berkesan dari kata-kata. Dengan contoh yang nyata, orang akan bisa dengan mudah mengikuti dan meniru secara benar. Karena dunia kata-kata tidak sama dengan dunia amal nyata. Karena dunia teori tidak sama dengan dunia praktik.
Keteladanan, terlebih sangat diperlukan dalam saat-saat yang sulit. Ketika segala sesuatu tidak berjalan dengan semestinya. Seperti apa yang dialami Rasulullah Saw, pada masa terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Kondisi saat itu betul-betul menegangkan. Bagaimana tidak, Rasulullah dan orang-orang mukmin yang hendak umrah dengan telah membawa binatang untuk disembelih, ternyata dihalang-halangi orang-orang Quraisy. Maka, ketika perjanjian Hudaibiyah selesai ditanda-tangani, nyaris saja para sahabat tidak mau menyembelih binatang-binatang itu. Tapi, begitu mereka melihat Rasulullah menyembelihnya, mereka seketika turut mengikuti.
Dengan memberi teladan yang nyata, seorang mukmin juga akan terhindar dari ancaman Allah. Karena orang yang hanya bisa bicara tetapi tidak mengamalkannya sangat dibenci oleh Allah swt. Allah swt menjelaskan di dalam Al-Qur’an, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sesungguhnya besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (QS. Ashaf: 2-3).
Demikian juga apa yang diceritakan oleh Abu Amr Jabir bin Abdillah bahwa suatu siang ketika ia sedang bersama-sama para sahabat dan Rasulullah saw, tiba-tiba datanglah kepada mereka serombongan orang tak beralas kaki, berkemul kain yang dilubangi pada bagian kepala dan bersenjatakan pedang. Mereka kebanyakan dari suku Mudhar, bahkan semuanya dari suku Mudhar. Melihat kemiskinan yang mereka derita, berubahlah wajah Rasulullah saw. Beliau kemudian masuk rumah dan segera keluar lagi. Kemudian menyuruh Bilal untuk mengumandangkan adzan dan iqamah. Sesudah menyelesaikan shalatnya beliau bersabda, "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dari padanya Allah menciptakan istri, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya, kalian saling meminta satu sama lain, serta peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian."
Rasulullah juga menyampaikan firman Allah yang lain, yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu semua kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." Seusai berpidato, ada seseorang yang bersedekah dengan sebagian dinarnya, dirham, pakaian, satu gantang gandum dan dengan satu gantang kormanya.
Setelah itu tidak ada yang ingin ketinggalan untuk turut bersedekah, meski hanya bersedekah dengan separuh biji kurma. Kemudian datanglah seorang sahabat Anshar yang membawa pundi-pundi besar, hampir saja ia tidak kuat untuk mengangkatnya. Setelah itu para sahabat mengikuti untuk bersedekah. Bahkan, Jabir melihat dua karung makanan dan pakaian.
Akhirnya wajah Rasulullah saw tampak sangat gembira seraya berkata, "Siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahala kebaikannya dan mendapatkan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang pertama memberi contoh perilaku yang jelek dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa orang-orang yang meniru perbuatannya tanpa dikurangi sedikitpun." (HR. Muslim).
Hadits tersebut memberi arti lain dari sebuah keteladanan. Ialah bahwa keteladanan sama dengan investasi jangka panjang yang sangat penting. Memberi teladan yang baik, sama artinya menabung untuk hari esok di akhirat dengan tabungan yang tanpa batas. Selama orang lain masih mengikuti contoh yang telah diberikan, maka selama itu orang yang memberi contoh tersebut mendapatkan balasan kebaikannya. Bahkan, seluruh kebaikan yang kita lakukan, tidak lain adalah tabungan yang kita simpan di sisi Allah, yang akan dikembalikan secara utuh. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an, yang artinya, "Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di sisi Allah." (QS. Al-Baqarah: 110).
Sesudah semua uraian di atas, tinggallah bagaimana setiap kita memulai menjadi teladan yang baik, dalam lingkup apapun. Segalanya harus dimulai dari diri sendiri. Banyak cara untuk bisa menjadi teladan. Tetapi menjadi teladan, tidak sama dengan ingin menjadi segala-galanya. Menjadi teladan, artinya seseorang berusaha untuk memberikan contoh yang baik, dalam berbagai sisi kehidupan. Dengan tetap menjaga kehormatn diri tanpa menyombongkan dan merendahkan diri tanpa harus menghinakan. Teladan yang baik, tidak akan pernah bosan untuk membaca dan mengaca ke dalam dirinya sendiri. Bercermin pada hati nuraninya, sebagai cermin yang paling jujur serta memohon ridha dan taufik kepada Allah swt. Wallahu ‘alam bishawab. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar